Perkembangan teknologi informasi dengan berbagai produknya telah merambah hingga ke pelosok negeri dan hampir telah digunakan oleh semua kalangan baik dari orang dewasa, maupun anak-anak, yang berada di kota maupun di desa.
Salah satu produk teknologi informasi adalah ragam aplikasi media sosial yang kini bertebaran dengan berbagai keunggulannya. Hanya dalam satu genggaman melalui sebuah smartphone yang kini harganya murah meriah orang sudah dapat mengakses berbagai aplikasi media sosial seperti facebook, twiter, instangram, bbm, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, media sosial sebagai produk teknologi informasi juga turut berpengaruh dalam perubahan masyarakat seperti kemudahan berkomunikasi, pertukaran informasi, pertukaran budaya dan juga berpengaruh pada life style (gaya hidup).
Banyak sekali jenis dari media sosial yang pada intinya memberi kemudahan bagi masyarakat dalam menerima dan mentransfer informasi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Next time, muncul pula permasalahan yang beragam dan membutuhkan penanganan yang intens oleh semua pihak.
Salah satu dampak buruknya dan sedang booming saat ini yang menjadi kampanye nasional seperti hate speech (ujaran kebencian) dan penyebaran hoax (berita bohong). Yang terbaru dan lagi hits saat ini misalnya masalah yang membelit RS dengan polemiknya yang berantai dan menjalar kemana-mana. Kemudian sebagian masyarakat mulai ramai-ramai latah, menshare dan memberikan opininya melalui medsos. Adapula yang berkomentar dengan mengeluarkan kalimat-kalimat diluar etika yang sebenarnya bisa menjerat diri sendiri. Maaf,..disini kita tidak berpolemik dengan kasus tersebut karena jika dicerna secara jauh terkesan sarat akan politisasi high class. Yang dibahas disini adalah etika penggunaan media sosial dengan berlandaskan nilai kearifan lokal.
Mencuatnya beragam masalah yang diakibatkan oleh kesalahan penggunaan media sosial telah menjerat dan menyeret oknum ataupun kelompok pelakunya dalam ranah hukum. Pemerintah memang sudah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi UU ITE untuk mengatur dan menangani pemanfaatan teknologi informasi seperti media sosial. Akan tetapi faktor penentunya adalah masyarakat itu sendiri sebagai subyek dan obyek dari media sosial.
Di Kabupaten Ende khususnya, dalam hal yang berkaitan dengan kesalahan dalam penggunaan media sosial sudah terdapat puluhan kasus baik itu yang ditangani oleh pihak penegak hukum maupun yang tidak tereksposes. Seperti hoax, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penipuan, pornografi bahkan urusan judipun juga terjadi di medsos.
Sebenarnya sudah ada nilai-nilai kearifan lokal disetiap daerah yang dapat dijadikan panduan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari termasuk dalam bermedsos. Para leluhur meletakan dasar baik dalam bentuk tindakan maupun dalam ungkapan-ungkapan nasihat (na’u nena) sebagai pegangan untuk generasi penerusnya .
Bagi masyarakat Ende Salah satu ungkapan yang dapat dijadikan pegangan dalam etika penggunaan media sosial adalah ungkapan “Piki Ne Ote Timba Ne Ate” (Berpikirlah dengan akal dan pertimbangkan dengan hati). Ote (akal) sebagai organ untuk berpikir dan ate (hati) sebagai pengendali nafsu manusia perlu sejalan dan berimbang dalam megekspresikan input dari panca indra.
Ungkapan tersebut minimal dapat menjadi pegangan bagi masyarakat Ende dalam berselancar di dunia maya khususnya media sosial. Karena segala sesuatu yang dilihat, didengar ataupun dirasakan perlu suatu pertimbangan yang matang sebelum mulai berkomentar, menulis ataupun menshare dalam sebuah akun media sosial. Pertimbangkan sebab akibat, untung dan rugi dan dampaknya terhadap pribadi maupun orang lain.
Memang dalam budaya kesastraan Ende lio masih banyak ungkapan sebagai nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki makna filosofi sebagai acuan dalam penggunaan media sosial. Misalnya Timba tato molo-molo baru gare go’o (Pertimbangkanlah dengan matang-matang baru diungkapkan), Ma,e gare rewo jaga ola gena walo leka tebo (Jangan berbicara sembarang dan asal-asalan agar tidak berdampak kembali pada diri sendiri).
Pesatnya perubahan sosial dan arus teknologi informasi juga berpengaruh pada penggunaan kalimat-kalimat kiasan. Misalnya, dulu orang selalu bilang mulutmu harimau-mu. Kemudian sekarang hits dengan istilah “jarimu harimau-mu”.
Ya..jika dipikirkan maka jari adalah eksekutornya dalam tindakan untuk berselancar dimedia sosial. Maka bagi orang ende ada pula muncul ungkapan Kanga ma’e dheto rewo jaga ola gena pojo (Jari, jangan sembarang memencet awas nanti diborgol).
Disini jari menjadi kunci akhirnya. Sekali kita memencet menu/tombol send maka seluruh orang di jagat ini yang terhubung dengan akun kita ataupun akun member kita akan melihat, membaca ataupun mendengar konten yang kita kirimkan. Maka akan memunculkan efek lanjutannya yaitu reaksi dari flower atau member dari akun kita.
Sering kita temui di medsos orang yang terkesan gregetan ketika melihat ataupun mendengar sebuah fenomena. Jari jemarinyapun mulai beraksi dalam suatu perangkat yang terakses ke medsos. Dengan alasan yang beragam mereka lalu membuat, menshare ataupun sekedar memberikan komentar/opini di media sosial tanpa mempertimbangkan etika apalagi dampaknya.
Sehingga harapannya jadikanlah otak dan hati sebagai media untuk mempertimbangkan segala sesuatu sebelum jarimu memencet tombol send.
Tulisan ini tidak bermaksud menggurui namun sekedar berbagi dan mengingatkan bahwa dalam bermedia sosial ada etika dalam penggunaan dan pemanfaatannya. Para leluhur telah meletakan nilai-nilai kearifan sebagai sebuah hasil rasa dan karsa yang dapat dijadikan pegangan dalam bertindak dan bertuturkata pada kehidupan sosial kemasyarakat masyarakat agar setiap insan bisa nyaman dan tentram.
Oleh : X-SAN D.